-->
  • Jelajahi

    Copyright © SULSEL INFO | Info Terkini Sulsel
    Best Viral Premium Blogger Templates
    CLOSE ADS
    CLOSE ADS

    Latest News

    Kepercayaan atau Trust

    SulselInfo.net
    Jumat, 18 Oktober 2024, 18:59 WIB Last Updated 2024-10-18T11:59:36Z

    Oleh: Andi Rahmat 
    Penulis: Anggota DPR RI 2004-2009/ 2009-2014

    Kepercayaan atau Trust (English) adalah modal sosial penting bagi suatu bangsa. Francis Fukuyama dalam bukunya “ Trust, The Social Virtues and The Creation of Prosperity” menjelaskan mengenai pentingnya kepercayaan ( Trust ) dalam upaya suatu bangsa untuk menjadi sejahtera (Prosper). 

    Lebih lanjut, Fukuyama mendefinisikan Trust sebagai, “ Ekspektasi yang muncul dalam suatu komunitas yang bersifat reguler, jujur,dan berperilaku kooperatif ( gotong royong) yang didasarkan pada norma2 yang dijalankan dan dibagikan secara bersama di dalam komunitas tersebut”. 

    Ringkasnya, Fukuyama mendalilkan Kepecayaan sebagai modal dasar penting dalam membangun kesejahteraan suatu bangsa. Bagi pengkritiknya, Fukuyama dituduh menjadikan pandangannya ini sebagai cara untuk memaksakan ide kapitalisme liberal sebagai basis norma terakhir dari proses evolusi peradaban manusia.

    Terlepas dari kritik itu, Kepercayaan memang tidak diragukan lagi memang merupakan fondasi asasi bagi suatu bangsa, terutama sekali dalam hubungan antara pemerintah dan warga negara . Kepercayaan timbal balik ( Mutual Trust ) antara pemerintah dan warga negara menjamin terciptanya stabilitas yang diperlukan bagi pembangunan suatu bangsa. 

    Apatah lagi bagi suatu bangsa seperti Indonesia, yang tidak hanya memiliki keunikan geografis berbasis kepulauan,  populasi penduduk nomor 4 di dunia, dan dengan latar belakang yang majemuk. Kepercayaan menjadi niscaya dalam membentuk kohesi nasional yang kokoh.

    Dalam satu dekade terakhir, dipicu oleh gelombang teknologi informasi yang padat, dan lahirnya fenomena “ post truth” dalam membentuk persepsi publik, kita melihat besarnya arus keterbelahan di dalam masyarakat ( divided society ). Ini fenomena global, yang juga sangat terasa di Indonesia. 

    Keterbelahan ini potensial memicu ketidak percayaan, gesekan sosial yang tajam dan dapat memicu konflik besar. Dan yang lebih lagi, dalam konteks pengelolaan kebijakan negara, menyebabkan sulitnya menemukan dan menjalankan kebijakan tepat yang Zonder keresahan publik.

    Ketidakpercayaan ( distrust) nampaknya telah menjadi masalah tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Erosi ketidakpercayaan ini terutama banyak melanda negara-negara demokrasi. Di Eropa dan Di Amerika Serikat misalnya, banyak penelitian menunjukkan tingginya tingkat ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara, institusi media massa dan bahkan, meluas hingga ketidakpercayaan antara kelompok-kelompok warga negara.

    Indonesia juga demikian. Sebagai negara demokrasi yang relatif masih muda, ketidak percayaan menjadi masalah kita sehari-hari. Berbagai survei dan penelitian menunjukkan kuatnya gejala ini. 

    Hanya sedikit institusi publik yang  relatif memiliki tingkat kepercayaan tinggi. Yang paling menderita justru adalah institusi politik dan institusi penegakan hukum. Tingkat kepercayaan terhadap institusi-institusi ini terus menerus mengalami erosi dari tahun ke tahun.

    Dalam keadaan seperti ini, legitimasi publik yang merupakan basis penting bagi efektivitas penyelenggaraan negara menjadi sangat sulit untuk diperoleh. Tanpa legitimasi berbasis kepercayaan, pemerintahan yang efektif pun juga menjadi sulit diwujudkan.

    Ini tentunya merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Lazimnya, suatu pemerintahan baru umumnya memiliki modal sosial kepercayaan publik yang relatif tinggi. Harapan publik terhadap pemerintahan baru menjadi modal utamanya. Erosi harapan diawal pemerintahan akan menjadi kesulitan tersendiri bagi pemerintahan baru. 

    Pemerintahan Prabowo-Gibran dimulai dengan upaya untuk menciptakan konsensus nasional yang diharapkan mampu memayungi keragaman aspirasi publik.Sejak disahkan sebagai Presiden terpilih, Jenderal ( Purn) Prabowo Subianto, terlihat berupaya keras untuk membangun konsensus nasional yang kuat, dengan merangkul sebanyak mungkin berbagai kekuatan politik yang ada.

    Hal ini nampak sekali dalam besarnya kabinet yang dibentuknya. Kabinet Prabowo-Gibran adalah kabinet paling “ gemuk “ dalam sejarah Indonesia sejak era Orde Baru. Indonesia diera Orde Lama pernah memiliki kabinet yang lebih besar yang dikenal dengan nama Kabinet Seratus Menteri. Nasib dari kabinet Seratus Menteri ini tidak berakhir mulus. 

    Indonesia dengan berbagai tantangan kontemporer yang dihadapinya, termasuk juga tantangan keadaan dunia yang tidak sedang baik-baik saja, memang memerlukan pemerintahan yang kohesif dan konsensual. Dalam 5 tahun ke depan,tantangan konjongtur ekonomi dan persaingan global memerlukan pemerintahan yang efektif dan dipercayai publik. 

    Kabinet konsensual ( penulis lebih senang menggunakan istilah ini ketimbang istilah akomodatif) Prabowo-Gibran bisa saja merupakan obat mujarab untuk menghadapi semua itu. Sepanjang, pertama, kabinet ini tidak terjebak dalam problem belitan birokrasi yang tidak berujung. Sibuk dalam penataan kelembagaan dan abai terhadap tujuan-tujuan pemerintahan yang hendak dicapainya

    Problem kedua, adalah kabinet ini bukan merupakan lapangan baru persaingan politik, berupa perebutan konsesi-konsesi politik dan ekonomi yang justru menyebabkan Presiden Prabowo Subianto terjebak dalam upaya terus menerus untuk menjaga kohesi pemerintahannya. Patut dicatat, upaya membangun konsensus seringkali mengorbankan kebijakan efektif yang diperlukan oleh suatu pemerintahan dalam mencapai tujuan pemerintahannya.

    Problem ketiga, adalah keampuhan kabinet konsensual ini untuk menjaga kepercayaan publik, kepercayaan elit politik nasional dan kepercayaan internasional. Semuanya itu tercermin dalam kredibilitas, kualitas kinerja dan keampuhan komunikasi publik dari mereka-mereka yang menjadi Pembantu Presiden.

    Problem keempat adalah tarikan oligarkis. Ini merupakan masalah klasik dalam pemerintahan konsensual. Daya pikatnya terletak di dalam “ kemudahan kontrol “ pemerintahan. Namun bahanya  juga ada disitu. Seringkali pemerintah menjadi abai terhadap kinerja demokratis, yang pada gilirannya membuat pemerintah terisolasi dari pembacaan faktual terhadap fakta kinerjanya. 

    Kepercayaan bukan diperoleh dengan gratis. Kepercayaan adalah hasil dari hubungan mutual berbagai komponen bangsa dan terutama antara warga negara dan pemerintahnya. Selamat bekerja pemerintah baru. Rebutlah kepercayaan warga negara Indonesia. Wallahualam .
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    EKONOMI

    +